Guntur Subagja Mahardika
Ketua Umum, Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (INTANI) /
Ketua, Center for Strategic Policy Studies (CSPS) – Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG-UI).
Pertanian merupakan salah satu bagian dari Sherpa Track G20 dan menjadi topik penting dalam Pertemuan Tingkat Tinggi G20 di Bali, dimana Indonesia menjadi Presidensi G20. Permasalahan utama pada sektor pertanian global saat ini adalah isu ketahanan pangan (food security). Isu ini menjadi perhatian serius di tengah pandemi covid-19. Ketahanan pangan menjadi perhatian khusus dan mengancam keberlangsungan negara dan dunia bila tidak dikelola dengan baik.
Pangan adalah kebutuhan dasar (basic need) masyarakat dunia. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia, konsumsi pangan melonjak setiap tahun. Harga pangan dunia pun naik dari tahun ke tahun. Puncaknya, di tengah pandemi covid-19 gejolak harga pangan dunia menjadi tidak terkendali. Berdasarkan indeks Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) selama kurun waktu 2021 kenaikan harga pangan mencapai 28,1%.
Kenaikan harga yang tinggi disebabkan antara lain faktor cuaca ekstrem yang terjadi di belahan dunia, kebakaran hutan, kenaikan biaya pokok produksi, upah tenaga kerja, dan terganggunya rantai pasok (supply chain). Terganggunya jalur logistik menyebabkan kelangkaan kontainer, kapal angkut barang, dan pelayanan terbatas di saat pademi covid-19.
The Economist mempublikasikan Global Food Seucirity Index (GFSI) 2021 yang memeringkat 120 negara. Ada empat indikator penilaian yang menjadikan dasar ranking The Economist. Pertama, affordability yang memgukut keterjangkauan finansial masyarakat untuk membeli pangan. Kedua, availability berupa ketersediaan pangan, keseimbangan pasokan (supply) dan permintaan (demand). Ketiga, quality and safety yaitu kualitas pangan dan kemanan pangan yang layak konsumsi. Keempat, natural resources and resilience yang merupakan sumber daya alam dan tingkat kemampuan pemulihan dalam di dalam gejolak atau kondisi tekanan.
Dari hasil penelitian dan analisisnya, The Economist menempatkan Irlandia (score 84) sebagai negara yang memiliki keamanan pangan terkuat di dunia. Disusul kemudian peringkat kedua adalah Austria (score 81,3) dan peringkat ketiga Inggris (score 81). Sementara negara paling rentan dalam ketahanan pangan adalah Burundi (peringkat 113, score 34,7), Yaman (peringkat 112, socre 35,7), Mozambik (peringkat 111, score 35,9).
Indonesia berada dimana? Peringkat Indonesia dalam GFSI 2021 ada pada peringkat 69 (score 59,2). Satu peringkat di atas Afrika Selatan (70) dan di bawah negara-negara jiran: Singapura (15), Malaysia (39), Thailand (51), Vietnam (61), Filipina (64). Dan Indonesia mengalami penurunan peringkat tajam dari sebelumnya berada di peringkat 65 (2020) dan peringkat 62 (2019).
Ketahanan pangan di negara-negara maju dan berkembang yang tergabung dalam G20 secara umum terbilang cukup baik: Inggris (Peringkat 3), Kanada (7), Jepang (8), Amerika Serikat (9), Perancis (9, sama dengan AS), Jerman (11), Italia (18), Rusia (23), Australia (32), Korea Selatan (32, sama dengan Australia), Tiongkok (34), Arab Saudi (44), Meksiko (46), Turki (48), Argentina (53), Brazil (63), Indonesia (69), Afrika Selatan (70), dan India (71). Semengtara atu anggota G20 Uni Eropa dalam indeks GFSI tersebut dibreakdown per negara.
Dengan peningkatan jumlah penduduk dunia yang tinggi, yang pada awal tahun 2022 populasi di dunia mencapai 7,8 miliar orang, kebutuhan pangan juga mengalami peningkatan signifikan. Bila produksi dan kebutuhan pangan tidak seimbang dan tidak dikelola dengan baik, maka krisis pangan dan kelaparan akan terjadi di belahan dunia.
Food and Agriculture Organization (FAO) dalam Statistical Year Book 2021 mengungkapkan data-data makin tingginya tingkat kelaparan di dunia. Pada tahun 2020, warga dunia yang mengalami kelaparan meningkat 160 juta orang, dibandingkan tahun sebelumnya, menjadi 770 juta orang.
Tidak dipungkiri, Indonesia juga mengalami dampak meningkatnya penduduk miskin akibat pandemi covid-19 yang melanda negeri ini pada 2020-2021. Pada periode tersebut, jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat dan sempat melebihi 10%dari penduduk Indonesia. Dari penduduk miskin tersebut sebanyak 4 persen adalah warga yang mengalami kemiskinan ekstrem. Beruntung jumlah penduduk miskin dan miskin ekstrem ini lambat laun kembali berkurang seiring dengan melandainya pandemic covid-19 pada triwulan III dan triwulan IV 2021. Data Badan Pusat Statistik (BPS) RI per September 2021, penduduk miskin turun menjadi 9,71%, atau sebanyak 26,50 juta jiwa.
Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di dunia dan masih tingginya warga miskin dan bahkan yang mengalami kelaparan, menuntut negara-negara G20 memperkuat kerjasama dan kolaborasi untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Diantaranya dengan menyeimbangkan produksi dan kebutuhan pangan.
Melalui tema G20 “Recover Together, Recover Stronger”, Indonesia mengajak seluruh dunia untuk bahu membahu, saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.
Nilai ekonomi sektor pertanian di dunia sangat tinggi. Menurut data FAO nilai tambah pertanian (agriculture added value) dalam dua dekade terakhir (2000-2019) mencapai 73 persen dengan nilai ekonomi USD 3,5 triliun. Kontribusi sektor pertaian pada Produk Domestik Bruto (PDB) global sebesar 4%. Kontribusi tenaga kerja sektor pertanian mencapai 27% dari total tenaga kerja global, atau sekitar 874 juta orang.
Produksi tanaman utama (primary crops) pada 2019 mencapai 9,4 miliar ton. Jumlah ini meningkat 53% dibandingkan data pada tahun 2000. Empat komoditas tanaman pokok utama adalah tebu, jagung, gandum, dan padi menguasai separo dari produksi tanaman utama. Amerika Serikat, Tiongkok, dan Brazil adalah produsen jagung terbesar. Sedangkan Tiongkok, India, dan Indonesia adalah produsen padi terbesar. Produksi gandum dan kentang (ubi) dikuasai Tiongkok, India, dan Rusia. Sedangkan produsen tebu terbesar adalah Brazil, India, dan Thailand.
Produksi minyak nabati meningkat 118% pada kurun waktu yang sama. Indonesia, Malaysia, dan Thailand merupakan produsen tersebar minyak nabati yang bersumber dari sawit (palm oil). Minyak sawit merupakan pasar terbesar di dunia, disusul minyak kedelai yang didominasi produksi dari Tiongkok, Amerika Serikat, dan Brazil. Serta minyak bunga matahari yang didominasi produksi Ukraina, Rusia, dan Argentina. Sedangkan minyak nabati yang bersumber dari tumbuhan bmarga Brassica (rapeseed) dikuasi produksi Kanada, Tiongkok, dan Jerman.
Sementara produksi daging pada 2019 sebesar 337 juta ton atau naik hanya 44 persen. Data FAO tahun 2019 menunjukkan produksi daging didominasi daging ayam (35 %), daging babi (33 %), daging ternak (24 %) dan daging lainnya 12 %. Permintaan daging babi meningkat tajam bila pada tahun 2000 porsinya hanya 25% naik menjadi 35%. Sementara porsi daging lainnya mengalami penurunan signifikan. Produsen daging babi terbesar adalah Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jerman. Sedangkan produsen daging ayam terbesar adalah Amerika Serikat, Tiongkok, dan Brazil. Sementara daging produksi hewan ternak seperti sapi dan sejenisnya diproduksi oleh negara-negara Amerika Serikat, Brazil, dan Tiongkok. Ketiga negara ini: AS, Tiongkok, dan Bazil, adalah pemimpin pasar daging terbesar di dunia.
Dalam publikasinya, FAO mengingkatkan akan terjadinya kenaikan harga pada pada tahun 2022, setelah kenaika tajam terjadi sepajang 2021 yang melonjak 28,1%, merupakan level kenaikan tertinggi dalam Indeks harga pangan FAO pada 2021 rata-rata sebesar 125,7 poin Ini merupakan indeks tertingg sejak tahun 2011 yang menyentuh level 131,9 poin.
FAO mengungkapkan kenaikan harga pangan yang tinggi telah berkontribusi besar pada kenaikan inflasi di berbagai negara dan menekan kondisi ekonomi di tengah krisis akibat wabah virus corona. Kondisi lebih parah dialami negara-negara yang bergantung pada impor. Kondisi ini akan mengancam meningkatnya populasi penduduk miskin.
Indonesia merupakan negara yang kondisinya lebih baik dibandingkan negara-negara yang menggantungkan kebutuhan pangannya dari impor pandemi covid-19. Produksi padi nasional justru mengalami peningkatan signifikan. Menurut dari Badan Pusat Statistik (BPS) RI tahun 2021, produksi padi nasional mencapai 55,27 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Jumlah ini mengalami kenaikan 1,14 persen (620,42 ribu ton) dibandingkan tahun 2020 yang produksinya sebesar 54,65 juta ton GKG. Luas lahan panen padi seluas 10,52 juta hektar. Namun, luas lahan ini mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelujmnya sebesr 1,33 persen dari 10,66 juta hektar.
Produksi sawit Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Dalam setahun, produksi sawit Indonesia sebanyak 43,5 juta ton dan tumbuh rata-rata 3,61 persen per tahun. Sejak 2006 Indonesia menjadi produsen minyak sawit (crude palm oil) tebesar di dunia menyalip Malaysia yang sebelumnya merajai pasar. Dan ekspor minyak sawit menjadi sumber pendapatan devisa tersbesar bagi Indonesia.
Meski Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia, namun Indonesia tidak mampu mengendalikan harga minyak sawit di pasar domestik dan dunia. Pengendali harga minyak sawit dunia ditentukan Bursa Malaysia Derivatives (BMD) dan Bursa Komodita Rotterdam. Sementara harga minyak sawit domestic juga merujuk pada harga yang ditentukan melalui bursa komoditas tersebut. Sebuah hal ironis, di penghujung 2021 dan awal 2022 masyarakat Indonesia justru berteriak atas kenaikan harga minyak sawit yang tidak terjangkau. Perlu penguatan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation/DMO) yang seimbang denga kebutuhan domestik. Saat ini eksportir CPO diwajibkan DMO sebesar 20 persen. Namun, harga minyak sawit di pasar lokal kerap bergejolak.
Presidensi Indonesia dalam G20 memiliki peran penting dan strategis untuk menguatkan ketahanan pangan dan pertanian di negara-negara anggota. Kelompok Kerja Pertanian (Agriculture Working Group) G20 tahun 2022 akan membawa tiga isu utama yang menjadi prioritas pembahasan dalam tema: “Balancing Production and Trade to Fulfil Food for All”.
Pertama, membangun sistem pangan dan pertanian yang tanggung berkelanjutan. Kedua, mempromosikan perdagangan angan yang terbuka dan adil dapat diprediksi dan transparan. Ketiga, mendorong bisnis pertanian yang inovatif melalui pertanian digital untuk memperbaiki kehidupan pertanian di wilayah pedesaan.
Ketahanan pangan akan menjadi isu utama dalam pertemuan tingkat tinggi G20. Bukan hanya pada sisi produksi, tetapi juga aksesibilitas pangan yang terjangkau oleh masyarakat bawah. Termasuk kelancaran jalur logistik yang selama pandemic covid-19 mengalami gangguan dan meningkatkan biaya logistik meningkat menjadi dua kali lipat lebih.
Bagi Indonesia, presidensi G20 harus menjadi momentum untuk membangkitkan kemandirian pertanian dan ketahanan pangan nasional. Ada empat hal utama yang menjadi faktor penting dalam ketahanan pangan, yaitu: ketersediaan, akses, stabilitas, dan pemanfaatan.
Lebih dari itu, bukan hanya ketahanan pangan yang harus dibangun, tapi juga kemandirian dan kedaulatan pangan. Caranya, dengan meningkatkan produksi masyarakat secara mandiri dan tidak tergantung produk-produk pangan dan pertanian impor. Indonesia harus mengoptimalkan produk-produk lokal yang dikembangkan dengan kearifan lokal dan meminimalkan produk impor. Masyarakat dituntut mengkonsumsi pangan dan produksi yang ditanam sendiri dan menam komoditas pangan dan pertanian yang dikonsumsi.
Indonesia memiliki sumber daya alam yang kaya dan sumber daya manusia yang unggul untuk lebih fokus pada sektor pertanian dan sumber daya alam yang dikelola ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Membangun kemandirian pangan dan pertanian bagi Indonesia akan memberikan multi-flyer effect yang besar dan menggerakkan sektor ekonomi lainnya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Setidaknya adalah lima sektor ekonomi yang dapat dikembangkan dengan hulu sektor pertanian (agriculture). Pertama adalah sektor makanan dan minuman (food & beverage); kedua, sektor kesehatan (healthy industry); ketiga, sektor kecantikan (beauty industry); keempat, sektor energi (renewable energy), dan kelima adalah sektor pariwisata (agro-tourism industry). Sektor pertanian juga akan menjaga kelestarian alam dan keberlanjutan lindungan, seiring dengan gerakan pemerintah Indonesia dan isu global saat ini yang mengusung ekonomi hijau (green economy).
Dengan menjadikan pertanian sebagai “core economy” Indonesia, maka sektor ekonomi lainnya akan tumbuh pesat dan terciptanya lapangan kerja baru yang mampu menyerap tenaga kerja di tengah Indonesia sedang mengalami bonus demografi. Pola pikir (mindset) baru dan adaptasi terhadap perubahan akan mendorong kemandiran nasional, kekuatan ekonomi bangsa, dan mempercepat terwujudnya Indonesia yang maju, adil, makmur, dan sejahtera. *
*Penulis adalah Ketua Umum, Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (INTANI) /
Ketua, Center for Strategic Policy Studies (CSPS) – Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG-UI).
Artikel ini sudah dipublikasikan dalam buku G-20 “Pulih Bersama, Bangkit Perkasa” yang diterbitkan Perpustakaan Nasional, 2022. Edisi digital buku dapat didownload di website Perpustakaan Nasional https://press.perpusnas.go.id
Bahan Referensi:
https://www.wapresri.go.id/singapura-pastikan-dukung-presidensi-indonesia-di-g-20/
http://www.strategicpolicycenter.com
https://impact.economist.com/sustainability/project/food-security-index/Index
https://www.fao.org/3/cb4477en/online/cb4477en.html#
https://news.un.org/en/story/2022/01/1110742
https://sherpag20indonesia.ekon.go.id/
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-manfaat-presidensi-g20-bagi-indonesia/
https://metro.tempo.co/read/1451490/petani-dan-nelayan-banten-ingin-jadi-produsen-pangan-nasional