INTANI.ORG – Kesejahteraan petani masih menjadi masalah yang sering dihadapi, karena banyak petani yang tidak memiliki daya jual tinggi akan hasil produksinya. Hal ini yang membuat pemuda asal desa Girirejo tergerak untuk terjun ke sektor pertanian untuk mengubah sistim yang lebih mensejahterakan petani.

“Saya lihat-lihat di kota harga sayur tinggi, namun petani-petani di desa saya itu kurang sejahtera. Bahkan sering merugi karena ongkos produksi dan harga jual yang tidak imbang,” ujar Ikhsanuddin mengawali paparannya sebagai narasumber inspiratif webinar inspirasi bisnis Intani seri ke 103, Rabu (11/01/2023).

Ikhsan menceritakan dulu sistim penjualan panen di tempatnya tergantung harga beli dari tengkulak. Selain itu dari total berat produk yang dijual akan dikurangi 10%.

“Jadi hasil panen itu ditimbang di keranjang besar, lalu total yang dibayar dikurangi 10% sebagai perhitungan berat keranjang tersebut. Sistim seperti ini sangat merugikan bagi para petani jika terus berlanjut, maka dibutuhkan sekali regulasi untuk melindungi para petani,” terangnya.

Ikhsan yang berlatar belakang sarjana pendidikan sains mulai mempelajari cara bertani secara mandiri. “Saya dimentori oleh mas Shofyan dari Sayur Organik Merbabu, awal tertarik belajar dengan beliau karena menonton acara tv Jateng yang menayangkan profil mas Shofyan. Dari situlah saya hubungi beliau dan mulai belajar bertani,” ujarnya.

Awal bertani Ikhsan mengatakan budidaya strawberry, yang menjadi nama SOGA farm akronim dari Strawberry Organik Gunung Andong. Seiring berjalan waktu, ia mulai mengembangkan ke pertanian hortikultura lainnya seperti brokoli, bayam jepang, bit, pakcoy dan selada.

“Brokoli itu salah satu sayuran yang memiliki nilai jual tinggi, terutama di perkotaan. Maka saya sangat tertarik mengembangkan brokoli ini dan sayuran lainnya sebagai tanaman tumpang sari,” jelas Ikhsan.

Ikhsan menggunakan sistim tanam bergilir untuk bisa memenuhi permintaan pasar. “Untuk pemasaran saya bekerja sama dengan Bumdes dan SOM, jadi saya fokus produksi. Mulai dari pemilihan komoditi dan penentuan margin saya tentukan sendiri, mitra terima jadi saja,” ujarnya.

Untuk budidaya sendiri Ikhsan mengatakan sudah semi organik dan menggunakan green house sederhana dengan harga 40 juta rupiah untuk per seribu meter persegi yang ketahanannya bisa mencapai 10 atau 15 tahun. Menurutnya dengan menggunakan green house bisa meningkatkan kualitas produksinya dan mengurangi serangan hama.

“Jadi penggunaan pestisida tidak terlalu banyak, disesuaikan dengan tanaman yang membutuhkan penanganan. Untuk pestisida yang saya gunakan ada nabati dan kimia sedangkan untuk pupuk sudah 100% organik,” ujarnya.

Tidak hanya budidaya, Ikhsan menjadikan SOGA farm sebagai tempat magang bagi para mahasiswa. Menurutnya dengan menjadikan tempatnya sebagai eduwisata selain bisa meningkatkan pendapatan juga menjadi ajang kolaborasi menciptakan inovasi baru pertanian.

“Sudah seharusnya kita sebagai petani berkolaborasi dengan para akademisi, karena banyak masalah  yang dihadapi petani dan membutuhkan solusi yang inovatif maka penting sekali kolaborasi ini,” terangnya.

Ikhsan juga berpesan untuk memulai usaha jangan fokus pada modal yang besar, tetapi  gunakan sedikit modal, kerja keras dan tekad yang besar. Dalam usaha membutuhkan trial error hingga menemukan pola bisnis yang tepat.

“Maka modal besar itu digelontorkan ketika kita sudah memiliki pola bisnis yang tepat, bukan sebaliknya.  Itulah yang sering membuat pengusaha pemula cepat gulung tikar karena hanya fokus mengeluarkan modal besar tanpa pola bisnis yang tepat,” terang Ikhsan.

Ila Failani, selaku moderator menyampaikan inilah keunggulan para milenial saat terjun ke sektor pertanian, tidak hanya sekedar bertani tetapi terbuka untuk berkolaborasi dalam menciptakan inovasi dan mengembakan sub bisnis lainnya.

Hal senada juga disampaikan ketua umum Intani, Guntur Subagja dalam pengantarnya bahwa kehadiran para petani milenial memang sangat dibutuhkan, karena pemikiran mereka sangat tebuka dan maju dalam meningkatkan kualitas pertanian.

“Petani milenial cenderung fokus membangun pertanian yang modern, bagaimana memanfaatkan teknologi dan terus berkolaborasi untuk meningkatkan pemasaran. Selain bisa meningkatkan kualitas produksi juga dapat menaikan harga jual. Dan apa yang dilakukan Ikhsan ini sangat bagus sebagai contoh para petani milenial memulai usahanya,” ujar Guntur.

Webinar dengan tema ‘Brokoli Lereng Merbabu Masuk Pasar Modern’ ditayangkan via daring zoom dan streaming di TANITV, dihadiri ratusan peserta dari berbagai daerah.* (na)

LEAVE A REPLY