Jakarta, 10 Oktober 2025 – Webinar Intani Talk edisi ke-178 menghadirkan topik menarik seputar Low Carbon Feed, yaitu inovasi pakan rendah karbon ramah lingkungan sebagai solusi keberlanjutan di sektor pertanian dan perikanan. Webinar yang diselenggarakan oleh Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) ini menghadirkan narasumber utama Dr. Meltarini Fahmi dari Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Acara dibuka oleh Silmi selaku moderator yang menyampaikan apresiasi kepada peserta atas antusiasmenya dalam mendukung pengembangan pertanian dan perikanan berkelanjutan. Ia menjelaskan bahwa isu pakan rendah karbon kini menjadi perhatian penting karena produksi pakan konvensional menyumbang emisi karbon yang cukup besar dalam rantai pasok pangan global.

Kolaborasi untuk Pertanian dan Perikanan Berkelanjutan

Ketua Umum Intani, Guntur Subagya Mahardika, dalam sambutannya menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, lembaga riset, dunia usaha, dan komunitas petani untuk memperkuat inovasi ramah lingkungan. Ia mengajak seluruh pihak untuk mempercepat transformasi menuju praktik pertanian dan perikanan yang efisien, rendah emisi, dan mampu menjaga ketahanan pangan nasional.

Inovasi Pakan Rendah Karbon (LoCa Feed) dari Balai Riset Ikan Hias

Dalam paparannya, Dr. Meltarini Fahmi memperkenalkan program Low Carbon Feed Community (LoCa Feed), hasil riset Balai Riset Budidaya Ikan Hias – KKP. Program ini dikembangkan sebagai respon terhadap kebutuhan mengurangi dampak lingkungan dari produksi pakan ikan.

Menurutnya, pakan ikan menjadi salah satu sumber utama emisi karbon dalam kegiatan budidaya. Melalui pemanfaatan bahan baku lokal dan proses produksi yang efisien, LoCa Feed berupaya menekan jejak karbon sekaligus meningkatkan kemandirian pakan bagi pembudidaya. Riset ini juga memperhatikan kualitas air dan keseimbangan ekosistem budidaya, serta menunjukkan hasil positif terhadap efisiensi biaya dan pertumbuhan ikan.

Pemanfaatan Larva BSF sebagai Pakan Masa Depan

Salah satu fokus utama riset yang dikembangkan adalah penggunaan larva Black Soldier Fly (BSF) atau Hermetia illucens sebagai sumber protein alternatif. BSF dikenal mampu mengurai hingga 90% sampah organik hanya dalam waktu sekitar 12 hari, menghasilkan protein tinggi serta pupuk organik alami.

Dr. Melta menjelaskan, penelitian terhadap BSF sudah dilakukan sejak 2008. Timnya berhasil memperoleh dua paten internasional, yakni pada 2009 untuk inovasi pakan berkelanjutan dan pada 2017 untuk teknologi pengolahan sampah organik. Dari hasil tersebut, BSF terbukti menjadi solusi efektif dalam pengelolaan limbah sekaligus penghasil pakan berprotein tinggi.

BSF berbeda dengan belatung biasa (house fly larvae). Serangga ini tidak menularkan penyakit, tidak mengganggu manusia, dan memiliki siklus hidup alami yang sangat efisien. Fase larvanya mengandung protein tinggi, asam amino esensial, serta lemak baik yang sangat potensial untuk pakan ikan, unggas, dan hewan ternak lainnya.

Teknologi Produksi dan Potensi Bisnis

Pengembangan BSF dapat dilakukan dengan dua sistem:

  • Open System, di mana larva tumbuh alami di area terbuka seperti perkebunan.

  • Closed System, yaitu sistem terkontrol dari telur hingga panen di insektarium.

Pada sistem tertutup, telur BSF ditetaskan menggunakan media ampas atau dedak. Setelah 6–7 hari, larva siap diberikan pada limbah dapur atau sisa makanan. Dalam waktu seminggu, sampah organik dapat terurai menjadi bahan kering yang bisa dipanen.

Selain ramah lingkungan, BSF juga memiliki nilai ekonomi tinggi. Produk turunannya meliputi tepung magot, pelet apung pakan ikan, minyak magot, serta pupuk organik. Dengan konsep no waste, semua hasil sampingan proses dapat dimanfaatkan sepenuhnya.

Riset Aplikasi dan Dampak pada Perikanan

Hasil riset menunjukkan bahwa pakan berbasis BSF mampu meningkatkan pertumbuhan ikan konsumsi dan ikan hias. Kandungan asam amino dan lemak pada BSF memperbaiki kualitas daging ikan, bahkan membuat warna ikan hias lebih cerah. Selain itu, BSF mengandung senyawa antimikroba alami (antimicrobial peptide) yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh ikan terhadap penyakit.

Balai Riset Budidaya Ikan Hias Depok juga aktif memberikan edukasi dan pelatihan kepada masyarakat, membuka program magang mahasiswa, serta mendukung pendampingan usaha untuk mendorong penerapan teknologi BSF di berbagai daerah.

Diskusi dan Tanggapan Peserta

Dalam sesi diskusi, Guntur Subagya menyoroti pentingnya perubahan cara pandang terhadap limbah organik. “Kita tidak boleh lagi memandangnya sebagai sampah, tetapi sebagai sumber bahan bernilai. Konsep no waste yang diterapkan Lokafit sangat relevan untuk ekonomi sirkular,” ujarnya.

Peserta juga aktif bertanya, salah satunya Pak Taufik dari Indonesia Cerdas Desa (Bangka Belitung), yang telah menerapkan sistem pertanian organik dan perikanan lele terpadu. Ia menanyakan efek penggunaan magot terhadap ikan. Dr. Melta menjelaskan bahwa ikan yang diberi pakan magot memiliki rasa lebih enak, tekstur lebih baik, dan lebih tahan penyakit.

Sementara Pak Yudiana dari Kandang Maget Jogja menanyakan cara menekan biaya produksi pakan berbasis magot. Menurut Dr. Melta, solusi efisien adalah menggunakan magot hidup atau setengah kering yang dijemur matahari dan dicampur dengan dedak serta tapioka untuk dicetak menjadi pelet. Dengan cara ini, biaya produksi bisa ditekan hingga sekitar Rp6.000 per kilogram.

Penutup: Menuju Pakan Ramah Lingkungan dan Ekonomi Sirkular

Webinar ditutup dengan ajakan untuk terus memperkuat kolaborasi riset dan implementasi teknologi ramah lingkungan. Konsep no waste yang diusung BSF membuktikan bahwa pengelolaan limbah bisa menghasilkan manfaat ekonomi sekaligus mendukung target Net Zero Emission.

BSF bukan hanya solusi pengelolaan sampah organik, tetapi juga menjadi “protein masa depan” bagi sektor pertanian dan perikanan Indonesia yang berkelanjutan.

LEAVE A REPLY