Webinar Intani Talk edisi ke-167 kembali menjadi ruang edukasi dan inspirasi bagi petani dan nelayan di seluruh Indonesia. Webinar dilaksanakan secara online melalui Zoom dan Live Youtube Tani TV pada Rabu, 16 Juli 2025. Diselenggarakan atas kerja sama Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) dan Divisi ESG PT Pegadaian melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), webinar kali ini mengangkat tema “Implementasi Model The Gade Integrated Farming (TGIF)” yang disampaikan oleh Cornelius Rinto Wibowo, Sekretaris Kelompok Tani Ngudi Rejeki, Ketua Kelompok Pembudidaya Ikan Sumberminamulya, Direktur BUMDes Sumber Mulia Mandiri dari Kanutan, Bantul, Yogyakarta.

Ketua Umum Intani, Guntur Subagja, membuka sesi dengan menjelaskan bahwa TGIF merupakan model pertanian terpadu. Program ini lahir dari inisiatif mengolah limbah rumah tangga menjadi pupuk organik, kemudian berkembang menjadi sistem pertanian berkelanjutan yang mengintegrasikan berbagai sektor: pengelolaan sampah, pertanian, peternakan, perikanan, hingga sistem keuangan mikro. Hingga kini, TGIF telah diterapkan oleh 112 kelompok tani di delapan kota dan melibatkan lebih dari 1.600 petani. Intani dan Pegadaian juga memberikan pelatihan menyeluruh mulai dari pembuatan pupuk, teknik budidaya, hingga analisis usaha tani untuk meningkatkan efisiensi dan keuntungan petani.

Implementasi TGIF di Kanutan dimulai dari hal yang sederhana: membiasakan warga memilah sampah rumah tangga. Meski awalnya sulit karena belum menjadi budaya, kebiasaan ini kini telah terbentuk, dilakukan secara rutin dua kali seminggu. Sampah dipilah menjadi beberapa jenis: sisa makanan, plastik, botol, dan residu. Sampah organik diolah menjadi pupuk melalui proses fermentasi, sementara sampah non-organik seperti plastik dan botol dikelola melalui kerja sama dengan mitra pengelola dari Jerman.

Model TGIF kemudian berkembang menjadi sistem pertanian terpadu yang menghubungkan semua sektor secara sirkular. Kotoran hewan seperti sapi dan kambing dicampur dengan sampah organik untuk menghasilkan pupuk padat dan cair. Sementara itu, kotoran ikan dari kolam bioflok dimanfaatkan sebagai irigasi sawah saat musim kemarau, sehingga menghemat air dan biaya pompa. Letak kandang, kolam, dan lahan pertanian yang berdekatan memungkinkan efisiensi tinggi dan mendorong keberlanjutan.

Hasil nyata dari penerapan sistem ini terlihat pada peningkatan produktivitas dan efisiensi biaya. Jika sebelumnya satu petak lahan hanya menghasilkan 4 kuintal gabah, kini bisa mencapai 7 kuintal. Biaya produksi bisa ditekan hingga 50%. Petani di Kanutan juga telah sepenuhnya beralih ke sistem pertanian organik. Pupuk yang dihasilkan telah melalui uji laboratorium dan sedang dalam proses registrasi resmi. Permintaan pun terus meningkat, bahkan ibu rumah tangga yang mulai bertani di pekarangan rumah ikut membeli pupuk dari kelompok tani.

Selain dampak ekonomi, program ini juga berdampak sosial. Anggota kelompok tani meningkat hingga lebih dari 60 orang. Petani juga telah mendapatkan pelatihan dan sertifikasi resmi sebagai fasilitator pertanian organik. Salah satu inovasi menarik dari TGIF adalah mendorong petani untuk menabung sebagian hasil panennya dalam bentuk emas melalui produk Pegadaian. Hal ini menjadi langkah strategis untuk mendorong kebiasaan investasi jangka panjang dan menjaga nilai kekayaan petani dari inflasi.

Sistem pertanian organik ini juga efektif dalam mengendalikan hama secara alami. Dulu, tikus menjadi masalah besar bagi petani, namun sejak menggunakan pupuk organik, serangan tikus berkurang drastis. Untuk mengatasi hama wereng, petani memanfaatkan pestisida organik dari empon-empon seperti jahe dan laos, yang mereka pelajari langsung dari pelatihan bersama tim Intani dan Pegadaian.

Dalam sesi diskusi webinar, seorang peserta dari Blora menyampaikan tantangan budidaya lele di daerah minim air. Pak Rinto menawarkan solusi berupa sistem sirkulasi air tertutup, di mana air dari kolam disaring dan digunakan kembali, sehingga tetap bersih dan hemat air. Sistem ini juga mempercepat masa panen dari 90 hari menjadi sekitar 70–75 hari. Ia juga menyarankan menggunakan bibit yang lebih tahan penyakit dan lebih efisien secara ekonomi.

Menutup acara, Pak Guntur Subagja memberikan apresiasi kepada Kelompok Tani Ngudi Rejeki dan Pak Rinto atas keberhasilan implementasi TGIF. Ia menekankan bahwa pertanian organik bukan hal baru, melainkan warisan leluhur yang diperkuat melalui pendekatan modern. Ia mencontohkan bahwa di Karawang, pertanian organik mampu menghasilkan 6 ton gabah dari 1 hektare sawah hanya dengan biaya produksi sekitar 15 juta rupiah, menghasilkan margin keuntungan hingga 27 juta. Menurutnya, tantangan utama pertanian Indonesia adalah luas lahan yang sempit, dan solusinya adalah konsolidasi kelompok tani seperti yang dilakukan di Kanutan.

Pak Rinto pun menutup dengan semangat:

“Tetap semangat dan percaya diri dalam mengembangkan pertanian organik. Tanah kita bisa kembali subur jika dikelola dengan tepat.”

Model The Gade Integrated Farming di Kanutan membuktikan bahwa dengan pendekatan kolaboratif, teknologi tepat guna, dan kesadaran lingkungan, petani dapat mandiri, sejahtera, dan menjadi pelopor keberlanjutan dari desa.

LEAVE A REPLY