Mengelola sampah bukan lagi sekadar upaya menjaga kebersihan lingkungan, melainkan telah berkembang menjadi gerakan sosial dan ekonomi yang berdampak nyata. Di tengah ancaman krisis lingkungan, berbagai komunitas dan organisasi mulai menunjukkan bahwa sampah memiliki nilai lebih, bahkan bisa menjadi sumber investasi. Salah satu contoh inspiratif datang dari Forum Sahabat Mas Peduli Sampah Indonesia (Forsepsi), yang membuktikan bahwa memilah sampah pun bisa membawa masyarakat menabung emas.
Pada Rabu, 28 Mei 2025, Intan Talk episode ke-160 menghadirkan Ketua Umum Forsepsi, Ibu Mina Dewi Sokmawati, dalam sesi diskusi yang membahas inovasi pengelolaan sampah dan peluang ekonomi melalui program “Memilah Sampah Menabung Emas”. Dalam paparannya, Ibu Mina menyoroti bagaimana persoalan sampah telah menjadi isu besar di Indonesia dan dunia, termasuk munculnya pulau-pulau sampah di laut, salah satunya di Kepulauan Mentawai. Melihat kondisi ini, Forsepsi hadir sebagai gerakan yang awalnya merupakan kumpulan bank sampah binaan PT Pegadaian sejak 2019. Seiring waktu, jumlah bank sampah yang tergabung terus tumbuh, dari 70 pada 2021 menjadi 425 di tahun 2024, dengan lebih dari 47.000 nasabah di seluruh Indonesia.
Program unggulan Forsepsi bernama Geber Emas (Gerakan Bersama Edukasi Masyarakat), yang bertujuan memberikan edukasi tentang pentingnya mengelola sampah dari sumbernya. Anggota Forsepsi adalah bank sampah yang telah aktif minimal satu tahun, memiliki legalitas, dan tidak berada di bawah binaan BUMN lain. Struktur organisasi Forsepsi terbentuk dari tingkat pusat hingga daerah dan didukung aplikasi digital Pegadaian Peduli sebagai sarana pemantauan dan edukasi.
Kolaborasi dengan PT Pegadaian tak hanya sebatas pembinaan, tapi mencakup pelatihan, peningkatan kapasitas, bantuan sarana prasarana, hingga pemberian reward seperti beasiswa BPJS Ketenagakerjaan dan paket lebaran. Program “Memilah Sampah Menabung Emas” menjadi hasil kolaborasi paling berdampak. Dalam program ini, masyarakat diajak memilah sampah dari rumah, menyetorkan ke bank sampah, lalu hasilnya dikonversi ke dalam bentuk tabungan emas. Edukasi dilakukan melalui sistem kantong terpilah 5+ untuk sampah plastik, kertas, logam, kaca, tekstil, dan minyak jelantah. Sampah yang dipilah akan lebih mudah diolah menjadi produk baru seperti kompos, lilin aromaterapi, ekoenzim, hingga tas daur ulang.
Ibu Mina menekankan pentingnya mengadopsi prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dalam kehidupan sehari-hari. Dari hal kecil seperti membawa tumbler sendiri, masyarakat diajak melihat bahwa sampah bukan beban, tetapi potensi. Tabungan emas dari sampah pun menjadi simbol kesadaran dan identitas masyarakat yang peduli lingkungan sekaligus visioner dalam investasi.
Dampak dari program ini terlihat nyata. Tidak hanya menjaga lingkungan, program ini juga menjadi penggerak ekonomi masyarakat. Hingga kini, lebih dari 8 kilogram emas telah terkumpul dari hasil penimbangan sampah para nasabah. Salah satu kisah inspiratif datang dari seorang anggota yang berhasil mewujudkan impian berangkat umrah dari tabungan emas yang dikumpulkan sejak 2019. Nilai emas yang terus naik menjadikan program ini tidak hanya berdampak jangka pendek, tetapi juga menjadi investasi berkelanjutan.
Forsepsi juga aktif dalam aksi nyata seperti membagikan tas pakai ulang, membangun penghalang sungai untuk mencegah sampah plastik mengalir ke laut, hingga menjalin kemitraan dengan pemerintah daerah agar kegiatan selaras dengan regulasi seperti Permen LH No. 14 Tahun 2021. Program ini telah membawa Forsepsi dan Pegadaian menerima berbagai penghargaan, mulai dari tingkat nasional hingga internasional seperti Rekor Lembaga Prestasi Indonesia Dunia, Latofi Award, hingga penghargaan internasional untuk inisiatif “clean and green”.
Tantangan pun tidak luput dari pembahasan. Beberapa bank sampah menyampaikan kendala mereka. Di Garut, keterbatasan lahan dan minimnya pelatihan pengolahan plastik menjadi hambatan. Di Manado, biaya transportasi dan kapasitas gudang menjadi masalah utama. Bank Sampah Srikandi dari Cikarang Utara menghadapi penurunan jumlah penimbang akibat lokasi yang jauh dan minimnya dukungan lingkungan sekitar. Sementara Bank Sampah Asri mempertanyakan penggunaan limbah kaca dalam produksi barang daur ulang.
Solusi-solusi pun ditawarkan. Mulai dari menjalin kerja sama langsung dengan lebih dari satu pengepul untuk menghindari monopoli harga, hingga menciptakan strategi menarik seperti hadiah kejutan bagi nasabah aktif agar partisipasi tetap tinggi. Bahkan, Forsepsi mendorong kolaborasi dengan organisasi besar seperti Muhammadiyah yang mengembangkan program “sodqah sampah” untuk mendanai kegiatan sosial. Dengan membangun sistem kerja sama antara sodqah dan bank sampah, manfaat ekonomi dan sosial dapat berjalan berdampingan.
Diskusi ini membuktikan bahwa bank sampah bukan hanya tentang urusan teknis mengelola limbah, tetapi lebih luas lagi: membangun budaya sadar lingkungan, solidaritas sosial, serta pemberdayaan ekonomi. Program “Memilah Sampah Menabung Emas” tidak sekadar menjadi slogan, tetapi solusi konkret menuju masyarakat yang bersih, mandiri, dan sejahtera. Ketika pengelolaan lingkungan dijalankan dengan strategi dan kolaborasi yang tepat, maka keseimbangan alam dan kesejahteraan masyarakat dapat berjalan seiring.